Namun, MK mengabulkan permohonan kepala daerah-kepala daerah itu terkait dengan Pasal 201 Ayat (7) UU No 10/2016, tidak harus berhenti pada akhir 2024. MK menyatakan, pasal tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum, bertentangan dengan persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, dan menimbulkan ketidakpastian hukum, serta melanggar prinsip pemilihan dan prinsip demokrasi yang dijamin dengan UUD 1945.
MK juga menyatakan mampu memahami keinginan para pemohon yang ingin memaksimalkan masa jabatannya hingga pelantikan kepala daerah baru hasil Pilkada 2024. Dalam putusannya, MK juga menyinggung pentingnya pelantikan kepala daerah secara serentak.
Namun, UU Pilkada saat ini tidak mengatur keserentakan pelantikan kepala daerah hasil pilkada serentak tahun 2024 tersebut. MK menilai bahwa penyelenggaraan pilkada serentak harus diikuti pula dengan pelantikan yang serentak pula.
Hal ini penting agar tercipta sinergi kebijakan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, serta untuk menyinkronkan tata kelola pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Dengan demikian, tercipta kesamaan waktu mulai dan berakhirnya masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak.
Mengacu pada UU Pilkada, pemungutan suara akan digelar pada November 2024. Adapun pelantikan kepala daerah dilaksanakan setelah proses sengketa hasil pilkada di MK dalam kurun waktu 45 hari kerja selesai digelar. Namun, tidak tertutup kemungkinan MK memerintahkan dilaksanakannya pemungutan suara ulang atau penghitungan suara ulang.