MK menolak permohonan 11 kepala daerah yang meminta pelaksanaan pilkada serentak dibagi dua, yaitu November 2024 untuk kepala daerah hasil pemilihan sebelum 2020 dan April 2025 untuk kepala daerah hasil pemilihan tahun 2020. Sebab, menurut MK, pembagian penyelenggaraan pilkada itu justru akan menghilangkan keserentakan yang telah dirancang oleh pembentuk undang-undang.
Apalagi, untuk melaksanakan pilkada serentak secara nasional tersebut, pembentuk undang-undang sudah menyusun desain penyelenggaraan transisi dengan menyelenggarakan pilkada serentak dalam beberapa gelombang mulai tahun 2015, 2017, 2018, 2020, lalu November 2024.
Permohonan pilkada digelar dalam dua tahap tersebut diajukan oleh Gubernur Jambi Al Haris, Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi, Bupati Pesisir Barat Agus Istiqlal, Bupati Malaka Simon Nahak, Bupati Kebumen Arif Sugiyanto, Bupati Malang Sanusi, Bupati Nunukan Asmin Laura, Bupati Rokan Hulu Sukiman, Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto, Wali Kota Bontang Basri Rase, dan Wali Kota Bukittinggi Erman Safar. Mereka didampingi oleh kuasa hukumnya, Febri Diansyah dkk dari Visi Law Office.
Dalam pertimbangan saat MK menolak mengubah jadwal pilkada, Saldi menyebut kembali putusan Nomor 12/PUU-XXII/2024 yang menegaskan pandangan MK bahwa pelaksanaan pilkada serentak harus mengikuti ketentuan Pasal 201 Ayat (8) UU Pilkada, yaitu bulan November 2024.
Walaupun hal ini tidak dicantumkan di dalam amar putusan, melalui putusan tersebut MK penting menegaskan bahwa pertimbangan hukum MK punya kekuatan hukum mengikat. Sebab, pertimbangan hukum merupakan ratio decidendi dari putusan secara keseluruhan.